|
Theo terkejut ketika membaca dua kalimat singkat pada sepotong kertas yang terselip di antara hasil test murid-muridnya...
"Saya ingin punya cowok yang seperti Bapak, jantan! Apalagi kumis Bapak yang tebal itu, menggemaskan".
Setelah membacanya, ia menarik nafas panjang beberapa kali. Ia menduga
bahwa potongan kertas itu terselip di kertas test muridnya yang nakal,
Debby. Lalu ia memutuskan untuk merobek kertas itu menjadi beberapa
potongan kecil. Ia tak ingin istrinya menemukan dan membaca kertas itu.
Tanpa disadarinya, pikiran Theo menerawang ke beberapa 'peristiwa
menyenangkan' ketika ia mengajarkan matematika di kelas 2B. Kelas itu
menjadi berbeda daripada kelas-kelas lainnya karena di kelas itu ada
Debby yang cantik, berhidung bangir, berkulit kuning bersih, dan selalu
duduk di kursi barisan paling depan. Kursi itu berjarak kira-kira 3
meter dari meja guru dan persis berhadap-hadapan.
Debby menjadi murid yang 'istimewa' karena bila sedang latihan
mengerjakan soal, lututnya selalu agak renggang. Dari mejanya, Theo
dapat memandang celah di antara kedua lutut itu. Dan karena murid-murid
lainnya sedang sibuk mengerjakan soal masing-masing dengan kepala
tertunduk, maka Theo merasa bebas menatap pemandangan indah di depannya.
Pertama kali, Theo merasa bahwa hal itu hanya sebuah ketidaksengajaan.
Murid yang istimewa itu mungkin terlalu asyik dan serius mengerjakan
soal latihan sehingga tidak menyadari posisi duduknya yang menggairahkan
birahi lelaki. Sesekali kedua lutut itu dirapatkan, tapi tak lama
kemudian terbuka kembali.
Ia jadi terlena menatap keindahan paha dan kecantikan wajah gadis remaja
yang duduk di depannya. Dan tak sengaja, ia melihat senyum kecil di
sudut bibir gadis itu ketika memergoki arah tatapan matanya. Saat itu,
ia langsung mengalihkan pandangan ke sekeliling ruang kelas. Tapi tak
lama kemudian, seperti dihipnotis, pandangannya beralih kembali ke
tempat semula. Ternyata kedua lutut itu terbuka semakin renggang hingga
ia dapat melihat kemulusan paha bagian dalamnya.
Theo tak mampu mengalihkan matanya ketika muridnya itu kembali
mengangkat wajahnya. Sesaat, tatapan mata mereka berbenturan. Lalu
keduanya tersenyum. Tak lama kemudian, kedua lutut itu semakin
direnggangkan hingga ia terpana menatap segaris celana dalam berwarna
putih. Barulah disadarinya bahwa paha itu memang sengaja direnggangkan
agar ia dapat memandang keindahan yang tersembunyi di balik rok seragam
berwarna abu-abu itu.
Pada kesempatan lain, Theo hanyut ke dalam fantasinya sendiri.
Seandainya mungkin, ia ingin menghampiri dan melihat keindahan itu lebih
dekat lagi. Ia ingin mengusap kemulusan paha itu dan mengecup
pori-porinya berulang kali. Ia ingin mencicipi kehalusan kulit paha itu
dengan ujung lidahnya. Lalu ia akan mengecup dan sesekali menjilat,
mulai dari lutut hingga ke pangkal paha. Ia juga ingin menyusupkan
telapak tangannya ke bawah rok gadis remaja itu agar dapat meremas
bongkah pinggul yang pasti masih kenyal.
Dan yang paling penting, ia ingin menyibak secarik kain tipis penutup
pangkal paha gadis itu agar ia dapat menghirup aroma semerbak yang
tersembunyi di situ. Aroma seorang gadis belia pasti sangat segar,
katanya dalam hati. Aroma yang membius! Aroma yang membuat ia tak
berdaya! Lalu ia akan menghirup aroma itu dalam-dalam. Setelah aroma itu
memenuhi rongga dadanya, ia akan mencium dan menjilat-jilat kelembutan
bibir vagina yang segar itu.
Lidahnya akan menari-nari dengan liar agar kedua belah paha mulus itu
'menggunting' lehernya sehingga lidahnya terperangkap dalam liang vagina
yang basah. Setelah melipat lidahnya seperti bentuk sekop, akan
dihisapnya semua lendir yang tersembunyi di bibir dalam dan dinding
vagina itu. Akhirnya, ia akan meremas-remas bongkahan pinggul kenyal itu
sambil membiarkan lidahnya merasakan denyutan-denyutan vagina seorang
gadis remaja yang sedang mencapai puncak orgasmenya.
Kira-kira seminggu setelah menyuguhi pemandangan indah di pangkal
pahanya, tiba-tiba Debby berjalan menghampiri Theo. Saat itu bel jam
istirahat telah berbunyi. Gadis itu sengaja keluar paling akhir dari
ruang kelas.
"Ini untuk Bapak!" katanya sambil meletakkan sepotong kertas di atas meja, lalu melangkah terburu-buru meninggalkan ruang kelas.
Theo membaca tulisan di kertas itu, 'Coba tebak, besok Debby pakai CD
warna apa?'. Dan di bawah tulisan itu ada nomor HP. Setelah merenung
sejenak, Theo memasukkan nomor
HP itu ke dalam memory HP-nya. Sejenak ia ragu mengirimkan SMS untuk
menjawab pertanyaan itu. Tapi ada bisikan di lubuk hatinya, 'Ini hanya
sebuah game, tak salah untuk dicoba.' Dan kemudian ia menuliskan satu
kata, 'Pink.'
Kira-kira semenit kemudian, HP Theo berbunyi. Ia membaca SMS yang masuk,
'Salah.' Lalu dibalasnya, 'Biru muda.' Tak lama kemudian, masuk
jawaban, 'Salah!'. Dibalasnya lagi dengan, 'Putih!'. Jawabannya, 'Masih
salah!'. Setelah merenung sejenak, Theo membalas, 'Hitam.' Lalu ia
menerima balasan, 'Ayo, itu CD siapa? Debby nggak punya CD warna
hitam!'.
Theo tersipu. Lalu ia menulis SMS yang agak panjang, 'Nyerah deh. Yg
pernah aku lihat hanya: putih, pink, dan biru muda. 2 hr y.l aku nggak
bisa melihatnya krn pahamu kurang terbuka!' Dan ia pun menerima jawaban
yang agak panjang, 'Jadi Bpk ingin bsk Debby pakai warna apa?' Merasa
game yang mereka mainkan telah meningkat panas dan mesra, dengan berani
Theo menulis, 'Jgn pakai!!' Dan setelah SMS itu dikirimkan, hingga
menjelang tidur malam harinya ia tidak mendapat balasan. Mungkin ia
marah dan tersinggung, pikir Theo.
Keesokan harinya, jantung Theo berdebar-debar ketika berada di ruang
kelas. Setelah menjelaskan beberapa contoh soal, ia melangkah
berkeliling di antara kursi murid-muridnya. Ia berbuat demikian agar tak
sempat bertatap mata dengan gadis remaja yang nakal itu. Tapi ketika
sedang melangkah di sebelah kiri kursi Debby, gadis itu sengaja
menjatuhkan pensilnya ke lantai persis di depan kursinya.
Tanpa sadar, dengan refleks ia berhenti lalu menunduk memungut pensil
itu. Dan ketika menengadah, tiba-tiba wajahnya merona merah. Walau hanya
sesaat, dilihatnya gadis itu sengaja mengangkangkan kedua pahanya
lebar-lebar, lalu dengan cepat dirapatkan kembali. Memang hanya dalam
hitungan detik, tetapi ia sempat melihat pangkal paha itu dari jarak
yang sangat dekat. Di pangkal paha itu ada setumpuk kecil bulu-bulu ikal
berwarna hitam.
Bukan hitam pekat, tetapi hitam kecokelat-cokelatan karena bercampur
dengan bulu-bulu halus, lurus, dan masih pendek. Bulu-bulu yang baru
tumbuh!
Setelah berdiri kembali dan berhasil menguasai dirinya, Theo menatap ke
sekeliling ruang kelas. Tak terlihat ada tanda-tanda bahwa murid-murid
lainnya mengetahui peristiwa itu. Lalu dengan suara tegas berwibawa, ia
berkata..
"Kerjakan latihan soal nomor 1 dan 2."
Sore itu, ketika baru saja menutup pintu mobilnya, HP Theo berbunyi. Ia terpana ketika membaca nama yang muncul, Debby.
"Ya, ada apa Debby?"
"Bapak marah ya?! Kenapa setelah mengambil pensil Debby dari lantai
Bapak tidak duduk kembali di kursi Bapak. Padahal hari ini Debby sengaja
tidak pakai CD agar Bapak bisa memandanginya!"
Lidah Theo tiba-tiba terasa kelu. Gila, katanya dalam hati. Si Debby ini
bicara to the point. Berkesan vulgar. Menantang. Gadis itu seolah tak
peduli, atau memang tak mau peduli efek dari kalimat-kalimat nakal yang
diucapkannya.
"Aku tidak marah! Aku sedang memikirkan apakah aku masih akan
mendapatkan kesempatan memandang pangkal pahamu dari jarak sedekat itu."
kata Theo setelah memutuskan untuk
'masuk' ke game yang lebih dalam lagi.
Hanya orang bodoh yang menolakmu, katanya dalam hati. Bahkan kamu bisa
membuat semua lelaki menjadi bodoh dan tak berani membantah keinginanmu.
Lelaki mana yang berani menolak keinginan seorang gadis remaja yang
cantik dan seksi seperti kamu? Lelaki mana yang akan membantahmu bila
kau janjikan akan mendapatkan hadiah berupa sepasang paha ramping dan
panjang yang akan membelit pinggangnya?
"Bapak suka?"
"Suka banget! Apalagi kalau boleh dicium!"
"Bapak mau mencium paha Debby?"
"Mau! Paha dan pangkalnya ya!"
"Ha?!"
"Apa vagina Debby belum pernah dicium?"
Sejenak tak ada jawaban. Theo pun sempat ragu-ragu untuk melanjutkan.
Apakah mungkin si Debby yang vulgar dan nakal itu masih virgin? Belum
pernah merasakan lidah lelaki menjilat-jilat bibir vaginanya,
mengisap-isap klitorisnya? Apakah mungkin ia belum pernah
menggosok-gosokkan dan menghentak-hentakkan celah vagina di bibir dan
hidung seorang lelaki? Kalau belum, mengapa ia mengatakan suka pada
kumisku?, tanya Theo dalam hati.
Rasa penasaran membangkitkan gairah kejantanannya. Bagian bawah pusarnya
mulai tegang ketika membayangkan keindahan bulu-bulu di sekitar vagina
itu. Bulu-bulu yang dapat ia tatap sepuas hatinya. Tidak hanya pandangan
sekilas seperti ketika ia memungut pensil dari depan kursi gadis belia
itu. Bulu-bulu halus yang masih pendek, yang membuat ia gemas ingin
menarikinya dengan bibirnya. Menggelitiknya dengan kumisnya yang kasar.
Gelitikan yang membuat pinggul itu mengelinjang. Lalu ia akan
menjilatnya. Dan karena tak sabar, gadis itu akhirnya menarik kepalanya
agar ia mencium dan menjilati bibir vagina yang mungil itu. Ini
kesempatan emas yang mungkin terjadi hanya sekali seumur hidup, atau
tidak akan pernah terjadi sama sekali! Take it or leave it, katanya
dalam hati.
"Hallo Debby!"
"Kalau dicium di situ belum pernah. Kalau dahi dan pipi sering, dicium Papa."
"Terserah Debby deh. Aku akan menurut saja. Kalau hanya boleh memandang
saja, aku suka. Kalu diijinkan mencium, aku pun suka. Dilarang, aku pun
akan patuh."
"Kalau suka, Debby akan mengijinkan Bapak memandangnya lagi dari jarak dekat!"
"Kapan?"
"Mau sekarang?"
"Hah?!"
"Debby sekarang ada di Mall Arion. Bapak jemput Debby ya. Jangan parkir.
Masuk ke halaman mall dan melewati pintu depan. Debby sekarang berdiri
di situ, buruan ya!"
"OK!"
Theo tersenyum sambil melirik Debby yang duduk di sebelahnya. Secara
material, walau hanya seorang guru matematika, ia tidak kekurangan. Ia
berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ia memiliki rumah dan mobil
sedan yang baik pemberian orangtuanya. Ia mencintai matematika dan ingin
mengajarkannya kepada orang lain. Cita-citanya hanya ingin membuat
matematika menjadi sebuah ilmu yang mudah untuk dimengerti. Sikapnya
yang sabar ketika mengajar membuat ia disukai murid-muridnya. Ia memang
tidak ingin diarahkan orangtuanya menjadi seorang pengusaha seperti yang
dialami adiknya.
"Kita ke mana?" tanya Theo memecah keheningan.
"Ke rumah Debby saja. Di rumah Debby hanya ada pembantu. Papa dan Mama sedang ke Singapore."
"Karena sekarang tidak sedang di kelas, sebaiknya panggil langsung nama, jangan pakai Pak."
"Benar? Nggak marah?"
"Benar! Walau perbedaan usia di antara kita mencolok, bukan berarti kita
harus membuat sekat pemisah. Sekat seperti itu sangat membatasi ruang
dan gerak. Secara formal, kadang-kadang sekat seperti itu memang
diperlukan untuk menjaga jarak karena kita terikat pada norma dan etika.
Kalau informal, sekat-sekat itu tak diperlukan karena akan membatasi
seseorang dalam mengekspresikan dirinya. Setuju?" Debby tertawa kecil
mendengar uraian Theo.
"Kayak menjelaskan rumus matematika saja!" komentarnya.
Ternyata gadis remaja itu tinggal di sebuah rumah besar dan mewah. Debby
menggandeng tangan Theo menuju ruang keluarga yang terletak di bagian
tengah, lalu menghilang di balik salah satu pintu setelah aku
menghempaskan pantat di atas sebuah sofa besar dan empuk. Tak lama
kemudian, seorang pembantu datang meletakkan segelas minuman ringan di
hadapanku dan kemudian dengan terburu-buru menghilang kembali ke arah
belakang.
Sambil menunggu, Theo melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Semua
furniture di ruangan itu tertata rapi dan bersih. Pada sebuah dinding,
tergantung lukisan berukuran kira-kira 1 x 1 meter. Lukisan seorang anak
perempuan kira-kira berumur 7 tahun yang berdiri diapit oleh ayah dan
ibunya. Anak itu sedang tersenyum lugu. Rambutnya berponi. Lucu. Itu
pasti Debby dan kedua orangtuanya, kata Theo dalam hati.
Kurang lebih 15 menit kemudian, Theo terhenyak. Gadis remaja itu berdiri
di hadapannya dengan gaun tipis berwarna putih yang ujung bagian
bawahnya tergantung kira-kira sejengkal di atas lutut. Gaun tanpa
lengan. Hanya dua utas tali di bahu kiri dan kanan yang mengikat gaun
itu agar tetap tergantung menutupi tubuh pemiliknya. Cantik. Seksi.
Mempesona. Rambutnya lurus sebahu. Tingginya yang kira-kira 165 cm
membuat ia tampak anggun. Tonjolan dadanya proporsional. Gaun tipis itu
seolah menebarkan sejuta misteri yang memaksa mata lelaki menatap tak
berkedip untuk mengungkap rahasia lekuk-lekuk tubuh yang tersembunyi di
baliknya. Bagian bawah gaunnya yang lebar dan berenda seolah menjanjikan
telaga birahi yang akan menyeret lelaki menyelam dalam sejuta fantasi.
"Debby, kau cantik sekali," kata Theo memuji. Pujian jujur yang keluar dari lubuk hatinya.
Debby tersenyum. Selama ini belum pernah ada lelaki yang memujinya
seperti itu. Ia senang mendengar pujian itu. Ia pun sangat senang karena
sebelumnya tak pernah melihat guru matematikanya itu terpesona
menatapnya. Ia pun belum pernah melihat tajamnya sorot mata lelaki yang
terpesona menatap. Dengan sikap feminin, ia duduk di sebelah kiri Theo.
"Debby, mengapa kamu memakai gaun seperti itu?"
"Karena Debby suka pada Bapak. Juga karena Bapak tampan dan jan.."
"Ehh, ehh! Tidak pakai sebutan Bapak!"
"Lupa..! Juga karena Theo tampan dan jantan, itu jawabannya!"
"Alasan lain?"
"Debby nggak punya saudara. Debby anak tunggal. Sering kesepian di rumah
karena sering ditinggal Papa dan Mama. Nggak punya sahabat karena
banyak teman-teman perempuan yang iri sama Debby. Nggak punya pacar
karena cowok yang seusia Debby rata-rata egois. Obsesinya mereka selalu
tentang sex. Padahal Debby belum tentu suka. Jelas Bapak guru?"
Theo tertawa karena kata 'bapak guru' itu diucapkan dengan cara yang
lucu. Dan sebelum tawanya berakhir, tangannya meraih bahu gadis itu.
Dirangkulnya dengan ketat. Tak ada perlawanan. Sisa sabun beraroma
lavender yang memancar dari tubuh gadis itu terasa menyegarkan ketika
aromanya menyengat hidung Theo. Dengan gemas, di kecupnya pipi gadis
itu. Kiri dan kanan. "Seperti Papa," kata Debby sambil tertawa kecil.
Lalu ia bangkit dan berjalan ke arah pintu penghubung yang membatasi
ruang keluarga dengan bagian belakang rumah. Setelah mendengar 'klik',
ia melangkah kembali menghampiri
Theo dan duduk rapat persis di sebelah lelaki itu.
Theo menggamit dagu gadis itu agar menoleh ke arahnya, kemudian dengan
cepat bibirnya memagut bibir mungil gadis itu. Bibir yang terlihat basah
walau tanpa lipstik. Sejenak tak ada reaksi. Diulangnya mengulum sambil
menjulurkan lidahnya untuk mengait-ngait. Tapi lidah gadis itu masih
tetap diam bersembunyi di rongga mulutnya. Sejenak, Theo melepaskan
pagutan bibirnya. Ditatapnya wajah yang cantik itu sambil menggerakkan
jari tangannya untuk menyibak beberapa helai rambut yang terjatuh di
kening gadis itu. Dan ketika kembali mengulang ciumannya, ia merasakan
ujung lidah yang menyusup di antara bibirnya.
Segera dipagutnya lidah itu. Dihisapnya%